PMS - Kata carut-marut, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan kata turunan dari carut, yang berarti 'keji, kotor, cabul (tentang perkataan)'. Sementara kata carut-marut mempunyai arti "bermacam-macam perkataan yang keji" atau"'segala coreng-moreng (bekas goresan); goresan yang tidak keruan arahnya" Paling tidak inilah yang menjadi fokus diskusi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Pemuda Merga Silima (PMS) Kabupaten Dairi Robert H. Ginting, A.P, M.Si bersama Ketua Gerakan Jaringan Masyarakat Dairi (GAJA MADA) Markus Wilter Purba, S.E.
Kegalauan mereka melihat masiih saja ada aparat penegak hukum yang berani "bermain api" menterjemahkan hukum sesuai dengan keinginannya. Ginting bercerita sudah banyak contoh aparat penegak hukum yang kualat kena pecat bahkan harus menjalani hukuman lanjutan karena berani mempermainkan hidup masyarakat dengan melakukan tindakan sesuai pesanan.
Sementara itu Markus Purba yang merupakan pimpinan Rumah Aspirasi Hinca Panjaitan Anggota Komisi III DPR Republik Indonesia tidak habis pikir bila masih tersimpan keberanian tidak jujur dan bertindak melakukan pembenaran terhadap suatu kesalahan.
Sudah banyak contoh diberikan Negara Kesatuan Republlik Indonesia supaya aparat penegak hukum tidak mempermainkan hukum berdasarkan pesanan segelintir orang. Ada banyak keluarga yang akan tersakiti jika bagian keluarga mereka teraniaya oleh perbuatan-perbuatan aparat penegak hukum yang teledor ataupun menutup matanya melihat keadilan dari berbagai aspek kehidupan.
Itulah yang menjadi alasan berpijak munculnya Restorative Justice atau dikenal dengan penyelesaian masalah dengan mediasi meuju perdamaian. Kapolri telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Melansir situs
Badilum Mahkamah Agung, restorative justice (keadilan restoratif) adalah
alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara
peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan
mediasi.
Proses ini melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait. Mereka akan bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian
perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Dengan
mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola
baik masyarakat.
Menurut Tony F. Marshall “Restorative justice is
a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come
together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence
and its implications for the future”.
(Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).
Dari defenisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan.
Sedangkan menurut kriminolog Adrianus Meliala, model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah.
Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara.
Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach). Kekecewaan mereka ketika justru aparat penegak hukum masih ada yang tidak "tegak lurus" menjalankan perintah Kapolri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Pesan