06 September, 2023

Sisi Lain dari Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi di Daerah (Sebuah Catatan Harian)


Birokrat MenulisSaat hendak ke lapangan tenis kemarin sore, saya kaget mendapati enam panggilan tak terjawab di ponsel. Mengagetkan, panggilan itu berasal dari atasan langsung saya ketika masih menduduki jabatan struktural... 

Karena sejak berhenti setahun yang lalukami tak pernah lagi berkomunikasi lewat telepon. Saya menelepon balik dan memohon maaf. Beliau menjawab bijak, “Tidak apa-apa, Dek.” sambil tertawa. Kami berbasa-basi sejenak bertukar kabar tentang keluarga.

Lalu sesudah jeda beberapa saat, saya pun memberanikan diri bertanya mengapa beliau menelepon. Straight to the point, beliau menjawab bahwa ia penasaran saya tidak ikut seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama yang digelar oleh pemerintah daerah di tempat kami bekerja.

Sebagai orang yang pernah memimpin saya beberapa tahun, mungkin dia menganggap saya bisa bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan salah satu jabatan yang lowong itu. Saya tersentuh dengan perhatiannya. Tapi hati saya sama sekali tidak bergeming.

Saya katakan bahwa peluang saya lulus adalah “nol”. Karena seleksi terbuka itu hanyalah akal-akalan kepala daerah untuk mengelola birokrasi sebagai arena praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Dalam dua pilkada sebelumnya, saya selalu berdiri pada posisi “netral” (tepatnya “bukan pendukung”).

Sesuatu yang lumrah di alam demokrasi, tetapi menjadi “dosa tak berampun” di tangan pemimpin yang “primitif”. Karena pilkada dianggap sebagai perebutan “kue kekuasaan”, maka dengan tidak terlibatnya saya sebagai pendukung, maka tentu saya tidak berhak ikut menikmati jatah kue yang mereka rebut dengan susah payah.

Atasan yang baik ini mencoba meyakinkan saya, bahwa seleksi ini akan jujur dan transparan. Saya hanya tertawa kecil mendengarnya. Merasa lucu dengan adanya dua kata itu dalam kebohongan terang-benderang ini. Pengalaman saya ketika lulus terbaik di Provinsi, Gubernur menggunakan “hak prerogatifnya” memilih orang yang kualitasnya “lebih rendah” dari saya karena di matanya saya bukan siapa-siapa.

Saya bekerja di daerah yang jauh dari ibukota provinsi. Jelas luput dari pengamatan visual sang gubernur. Baginya, saya bukan “pejuang” yang patut “diganjar” dengan sebuah jabatan pimpinan tinggi. Budaya “balas budi dan balas dendam” yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan demokrasi kita pasca reformasi ini, yang kemudian menjalar hingga ke daerah-daerah, membuat kesempatan banyak pegawai untuk bersaing secara sehat menjadi tertutup.

Muncullah cerita tentang jual beli jabatan yang bagi sebagian birokrat dianggap peluang emas atau jalan pintas untuk meraih kedudukan secara instan. Cukup dengan segepok rupiah ataupun dolar, jadilah. Singkatnya, kata saya kepada beliau, percuma saya ikut seleksi karena saya bukan “pendukung” orang ini (tentu dengan nada santun).

Saya pikir, dia akan segera menghibur saya, menutup telepon lalu membiarkan saya berangkat ke lapangan tenis. Anak-anak juga terdengar mulai gelisah. Rupanya saya keliru. Dia katakan pilkada sudah lama berlalu, pasti sudah tidak berpengaruh dalam seleksi ini.

Saya jawab, ini bukan soal waktu. Ini soal selera. Saya bukan orang yang masuk dalam radar selera sang big boss. Pandangan saya tentang pemerintahan yang baik dan buruk juga berbeda dengannya, dengan demikian kecil kemungkinan bisa berpadu dalam tataran praksis.

Pandangan saya tentang seleksi terbuka juga berbeda jauh dengannya. Seleksi terbuka, menurut saya adalah upaya cerdas untuk meningkatkan kinerja pemerintahan melalui penempatan orang-orang kompeten di berbagai bidang pekerjaan (jabatan), tetapi big boss kita hanya melihatnya sebagai jalan mendudukkan orang-orang yang dia like dalam jabatan-jabatan birokrasi yang ada.

Lalu yang dia like ternyata hanya anak, menantu, dan para “penyumbang” tetapnya. Lihatlah betapa hebat anak-anak, menantu atau penyumbang-penyumbang tetapnya. Mereka terpromosi begitu cepat melebihi kecepatan pegawai pada umumnya. Karier mereka laksana roket yang meluncur cepat menembus awan.

Sementara orang lain harus merangkak dan berjuang dengan “berdarah-darah” sekedar untuk naik satu tingkat. Tetapi adakah dampaknya bagi perbaikan kinerja organisasi sektor publik kita? Itulah yang menjadi sumber dari karut marut atau rendahnya kualitas pelayanan publik kita.

Ruh seleksi terbuka itu sebagai “perbaikan” kinerja aparat, perbaikan kualitas pelayanan, dan terutama perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang dikelola oleh birokrasi, hilang sama sekali. Padahal semakin banyak orang berkinerja tinggi yang dipekerjakan oleh organisasi akan membuat kinerja organisasi juga  meningkat.

Tentu yang paling diuntungkan adalah masyarakat sebagai pihak yang menerima layanan dari birokrasi. Itulah esensi dari seleksi terbuka. Kelemahan lain proses seleksi terbuka kita adalah tidak adanya suatu mekanisme penjamin mutu yang credible untuk memastikan seluruh tahapan proses dan prosedur seleksi terbuka itu berjalan dengan jujur.

Tidak ada standar baku yang bisa digunakan untuk mengakreditasi seluruh proses dan hasil-hasilnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan negara. User dan panitia seleksi bekerja tanpa parameter yang jelas sehingga terkesan  hanyalah formalitas. Kualitas lulusan di daerah yang satu dengan daerah yang lain bisa sangat berbeda. Kepala daerah atau panitia seleksi dengan leluasa bisa ‘mempermainkan’ passing grade agar orang yang terpilih sesuai dengan keinginannya.

Yang lebih parah lagi, proses seleksi yang penting ini ternyata berjalan tanpa pengawasan. Padahal standardisasi dan pengawasan yang baik diperlukan untuk memastikan agar seluruh pejabat pimpinan tinggi pada setiap institusi pemerintahan yang ada di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni.

Bukankah JPT di daerah yang satu dengan daerah yang lain relatif sama tanggung jawab dan beban kerjanya? Risiko yang harus mereka hadapi juga bukankah kurang lebih sama? Dan tentu saja hak-hak kepegawaiannya pun pasti sama. Sehingga tentu tidak wajar apabila ada pejabat tinggi pratama di sebuah daerah, kualitasnya hanya sekelas pelaksana di daerah lain.

Untuk sederhananya, mari kita bandingkan seleksi terbuka itu dengan proses rekrutmen seorang driver atau seorang baby sitter. Saya yakin tidak ada orang yang mau bermain-main dengan proses seleksinya. Karena kesalahan dalam memilih driver atau baby sitter akan langsung dirasakan oleh user-nya.

Tujuan rekrutmennya jelas, standar kompetensinya juga jelas, dan hasil yang diharapkan juga jelas. Yaitu seorang driver atau seorang baby sitter yang bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Sang driver misalnya harus mahir mengemudikan kendaraan, paham aturan lalu lintas, dan tentu saja, pintar merawat atau menjaga kondisi kendaraan agar tetap baik. Sang baby sitter harus telaten, bisa mengurus bayi dengan baik, penyayang dan sebagainya.

Jadi, siapa pun, di mana pun, dan kapan pun orang merekrut driver atau baby sitter, tujuannya tidak mungkin berbeda. Caranya mungkin berbeda-beda, tetapi standar keahlian yang dituntut pasti relatif sama. Begitulah seharusnya seleksi terbuka itu dijalankan, steril dari tujuan-tujuan lain kecuali untuk menghasilkan pejabat birokrasi berkualitas agar pemerintahan bersahabat dengan rakyat.

Entah setuju dengan pendapat saya atau tidak, tetapi karena dia tetap terdiam, saya lanjutkan saja penjelasan saya, bahwa selama proses yang menggunakan uang rakyat ini tidak dibenahi, maka selama itu pula seleksi terbuka tersebut tidak akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, atau bagi bangsa dan negara.

Jadi, untuk apa saya mengikuti sebuah proses seleksi yang hasilnya tidak terukur, sarat kepentingan pribadi, dan relatif tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Di sisi kita para ASN, mungkin hanya buang-buang waktu, tenaga dan pikiran. Begitu pun di sisi para penyelenggara, kegiatan ini hanya semacam obyekan baru yang bisa jadi sumber penghasilan tambahan lainnya.

Yang merisaukan hati adalah ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kadang-kadang yang paling banyak menghambat berjalannya proses reformasi birokrasi di daerah adalah justru tangan-tangan politisi yang kepadanya disematkan jabatan sebagai pembina kepegawaian. Ironis, bukan?

Si pembina adalah si penghancur itu sendiri. Beliau merespon dengan berdehem beberapa kali, lalu menyatakan setuju  dengan pendapat saya. Tetapi beliau lalu mengalihkan pembicaraan dengan menyatakan keprihatinannya terhadap pejalanan karier saya.

Saya katakan bahwa saya tidak keberatan dengan kondisi saya saat ini. Pegawai Negeri Sipil berpangkat Pembina Tk I golongan ruang IV/b, digaji setiap bulan, tetapi tidak mempunyai tugas dan fungsi apa-apa. Masuk kantor hanya sekedar mengisi absen, duduk ngopi sambil ngudut menunggu matahari sedikit lebih tinggi sebelum akhirnya pamit pulang.

Kelihatannya menyedihkan, tetapi bagi saya, ini adalah blessing in disguise, sebuah kesempatan beristirahat dari beban kerja yang selama lebih 27 tahun terakhir ini saya geluti tanpa pernah mengambil cuti tahunan. Sebuah jeda yang bisa saya manfaatkan untuk melakukan hal-hal lain yang jarang saya lakukan sebelumnya.

Saya jadi lebih sering membaca dan menulis, sesuatu yang sangat sulit saya lakukan ketika saya begitu aktif bekerja sebagai birokrat. Lagi pula, seiring dengan makin menuanya usia, menduduki jabatan struktural bukan lagi prioritas dalam hidup saya. Banyak jalan untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negara.

Tanpa jabatan struktural pun, saya tetap masih bisa berkontribusi terhadap negeri ini. Sebagai seorang pegawai, keinginan terbesar saya sekarang hanyalah bekerja dengan tenang. Menyumbangkan tenaga, pikiran dan kemampuan saya dengan keikhlasan yang lahir dari kebahagiaan mengabdi kepada masyarakat.

Berjuang agar karya-karya saya bisa dinikmati oleh banyak orang, dan saya pun mendapatkan imbalan yang halal dan memadai untuk menghidupi istri dan anak-anak saya. Jika pemerintahan sekarang tidak memberi saya kesempatan untuk menduduki jabatan penting dengan peluang berkontribusi secara maksimal, saya cukup bahagia dengan kondisi saya sekarang.

Berkarya semampu saya dan berharap karya saya tetap bermanfaat bagi orang banyak. Saya tidak mau disibukkan dengan huru-hara politik yang terjadi di sekitar saya, karena para politisi itu bekerja entah untuk tujuan apa. Rezim boleh berganti, pemimpin boleh datang dan pergi, tetapi pekerja birokrat yang profesional akan selalu ada untuk rakyat, dan bekerja bagi kemajuan bangsa dan negara.

Di luar rumah, anak-anak terdengar makin ribut memanggil saya karena hari makin sore. Akhirnya, tanpa menunggu komentar lebih lanjut dari beliau, saya mohon diri. Tak lupa berterima kasih sekali lagi atas perhatiannya kepada saya. Saya akhiri perbincangan itu dengan permohonan maaf, demi menepati janji pada anak-anak.***

 by Andi P. Rukka Active Writer and Active Poetry Writer | May 4, 2018 | Birokrasi Berdaya | https://birokratmenulis.org/

4 komentar:

  1. Ecel ecel aja itu ...akal akalan bupati aja

    BalasHapus
  2. Artikelnya Sangat realita. Saya sendiri mengalami. Berkali-kali lulus seleksi terbuka, tapi tak ada jaminan dapat jabatan itu. Bila pun terpilih sebagai yg menjabat bukan dinilai sesuai standar kinerja, tapi "output price" lah yang jadi ukuran. Saya pun dicopot segera, dengan melanggar aturan tentang ketentuan jangka waktu peninjauan thdp pejabat tinggi Pratama hasil assesmen, minimal 2 tahun. KASN yang dibentuk untuk membela hak ASN, malah berubah jadi pemberangus ASN. Hal ini membuat saya jadi trauma. Betul sekali, Si pembina sendiri adalah sang penghacur. Semua hancur. Indikator hancur, kepercayaan aparat dan publik hancur, , kinerja hancur, prestasi dianggap hal wajar. Yang meningkat adalah nilai kehancuran. Haha... Mari kita saksikan sinetron yang dibintangi para poli tikus-tikus yang haus akan bangkai kepala ikan busuk, namun sangat dinikmatinya. Tinggal kita tunggu kapan mereka mencret sakit perut.

    BalasHapus
  3. Kepala daerah suka hatinya memilih keluarga atau siapa yg mau bayar wani Piro...rusak birokrasi ....

    BalasHapus

Mohon Tinggalkan Pesan