06 Juni, 2023

Sejarah Suku Karo Di Sumatera Utara

PMS DAIRI WILAYAH SUKU KARO. Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari, seperti Taneh Karo diindentikkan dengan Kabupaten Karo, Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi: a. Kabupaten Karob. Sebagian dari Kabupaten Dairi, yaitu: 1. Kecamatan Taneh Pinem 2. Kecamatan Tiga Lingga c. Sebagian dari Kabupaten Deli Serdang, yaitu: 1. Kecamatan Lubuk Pakam. 2. Kecamatan Bangun Purba. 3. Kecamatan Galang. 4. Kecamatan Gunung Meriah. 5. Kecamatan Sibolangit. 6. Kecamatan Pancur Batu. 7. Kecamatan Namo Rambe. 8. Kecamatan Sunggal. 9. Kecamatan Kutalimbaru. 10. Kecamatan STM Hilir. 11. Kecamatan Hamparan Perak. 12. Kecamatan Tanjung Morawa... 

13. Kecamatan Sibiru-biru. d. Kabupaten Langkat, yaitu: 1. Kecamatan Padang Tualang (Batang Serangan) 2. Kecamatan Bahorok. 3. Kecamatan Selapian. 4. Kecamatan Kuala. 5. Kecamatan Selesai. 6. Kecamatan Sungai Bingai. 7. Kota Madya Binjai. Kecamatan Stabat. Bahkan wilayah Karo ini juga sampai di sekitar Pangkalan Berandan, tempat ditemukannya Sungai Pelawi dan Titi Pelawi serta Pulau Kampai. Berdasarkan informasi seorang marga Sembiring Depari di Bekancan ini tadinya termasuk kekuasaan marga Sembiring Pelawi. 

e. Sebagian Kabupaten Aceh Tenggara, yakni Kecamatan Lau Sigalagala (dengan desa-desa yaitu Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga) dan Kecamatan Simpang Simadam. f. Kota Madya Medan. Pendiri kota Medan adalah Guru Patimpus Sembiring Pelawi, yakni seorang putra Karo. 

2. ZAMAN PRASEJARAH.  Etnis Karo termasuk ras Proto Melayu (Palaelo Mongoloid) yang bercampur dengan ras Negro (Negrito). Ras Negro telah mendiami daerah Nusantara sekitar 12.000 tahun lalu. Terjadinya percampuran antara orang Karo dengan ras Negroid yang disebut umang itu, seperti terungkap dalam legenda: 

1. Tindang (Ginting) kawin dengan Putri Umang. 2. Nenek moyang marga Purba kawin dengan Umang. 3. Raja Aji Nembah yang kawin dengan Putri Umang, dan lainnya. Manusia umang ini hidup dalam goa-goa di lubang batu, seperti terdapat di Durintani, Sembahe; Suka Luei, Deli Serdang (Batu Kemang). Perkakas mereka terbuat dari batu yang diasah tajam disebut "Sumatra Lith". 

Makanan mereka adalah kerang (Kjokkenmodinger) yang banyak terdapat dalam radius 130 kilometer antara Temiang sampai Serdang (Tengku Lukman Sinar, 1995:1). Lubang-lubang umang ini juga terdapat di Deleng Batu Milmil (Mburidi), Seberaya, Lau Borus (Sukatendel), Benubung dan lainnya. 

Pada abad 1 Masehi terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia. Pada waktu itu jugalah diperkenalkan aksara Palawa (Wenggi) dan bahasa Sanskerta. Bekas peninggalan dari agama Hindu ini masih terlihat dalam kepercayaan tradisional etnik Karo, seperti perwujudan Tuhan dalam tiga bentuk. 

Pendatang-pendatang dari India Selatan ini memperkenalkan ajaran agama Hindu. Kemudian pada abad ke-5 M datang pula migrasi Hindu dari India, yang memperkenalkan agama Buddha dan tulisan "Nagari". Aksara inilah yang menjadi cikal bakal aksara Batak, Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan lainnya (T.L. Sinar, 1995:1). Pada abad ke-9 disebut-sebut nama kerajaan yang ada di Pulau Sumatera adalah Rami (Lamuridi Aceh), Melayu dan Harladji (Haru). 

Tahun 1979 dilakukan ekspansi di kota Cina Labuhan Deli, di sana ditemukan uang cina zaman dinasti Tang  (sebelum 756 M), pualam keramik, batu tempat candi, serta patung-patung Hindu dan Buddha sampai akhir abad ke-13. Penemuan serupa juga terdapat di Pulau Kampai (T.L. Sinar, 1995:2). Menurut sejarah perkembangan Pemerintahan Kota madya Daerah Tingkat II Medan, pada tahun 1925 dan 1926, Vain Stein Callenfels menemukan tumpukan kulit kerang (Kjokkenmodinger) di perkebunan tembakau seritis. 

Dalam tumpukan kulit kerang itu ditemukan juga peralatan manusia prasejarah, berupa serpih bilah (flaked pubble-tools) dan beberapa lumpang batu dan alat tumbuknya yang masih sangat kasar buatannya. Tumpukan kulit kerang ini juga ditemukan di perkebunan Buluh Cina dan Tandan Hilir. 

Ini menurut para ahli berasal dari zaman batu madya (mesolitikum). Penemuan-penemuan ini menunjukkkan, bahwa di daerah ini pernah hidup manusia purba: sekitar ± 10.000 tahun lalu. Daerah-daerah yang disebut di atas termasuk wilayah Karo dan karenanya menjadi jelas, bahwa di daerah Karo sudah hidup manusia purba sekitar ±10.000 tahun yang lalu. 

Manusia-manusia purba ini diperkirakan hidup di daerah Karo dari tahun ± 4.500 sampai ±2.500 SM, yang kemudian terdesak dan bercampur dengan ras Mongoloid yang datang dari daratan Asia 5.000 tahun lalu. Etnik Karo erat kaitannya dengan etnis Gayo dan Alas. Ini bisa dilihat dari persamaan merga seperti Ginting, Sibero, Bukit, Tarigan, Lingga, dan Suka. 

Demikian juga dengan etnik Pakpak (Dairi) erat kaitannya seperti persamaan merga pada kedua etnik tersebut, misalnya Maha, Lingga, Sibero (Cibero di Pakpak), Lingga, Manik, Munte, dan Sebayang.

3. ZAMAN HINDU-BUDDHA

Kepercayaan tradisional etnik Karo banyak persamaannya dengan agama Hindu. Misalnya penjelmaan Tuhan (Dibata) dalam tiga wujud. Dalam agama Hindu perwujudan ini disebut: 1. Brahmana Pencipta Alam, 2. Waisya Pemelihara Alam, dan 3. Syiwa Perusak Alam. 

Sementara dalam kepercayaan Karo tradisional (pemena) perwujudan itu disebut. 1. Dibata Datas (Kaci-kaci). 2. Dibata Tengah (Banua Koling) 3. Dibata Teruh Padukah Ni Aji). Kebudayaan membakar mayat seperti terdapat di India dan Bali juga terdapat dalam masyarakat Karo. Abu-abu mayat yang telah dibakar, dihanyutkan dengan perahu-perahu kecil di Lau Biang. Ini menunjukkan adanya keterkaitan dengan budaya Hindu. 

Berdasarkan penelitian Kongres Kebudayaan Karo pembakaran mayat ini terakhir dilakukan tahun 1939 seperti terjadi di Perbesi dan Buah Raya. Alat-alat usungan mayat, seperti ligé-ligé dan kalimbaban (kejeren) mirip usungan mayat di Bali pada acara ngaben. Demikian dukun (guru) Karo yang sedang kesurupan (bermantra) memakai kain putih (dagangen) sebagai pakaiannya, baik sebagai tudung (untuk wanita) dan bulang (untuk pria). 

Ini sama dengan kebiasaan orang-orang Hindu dan Bali. Beberapa submarga Karo, seperti Brahmana, Pandia, Colia Manik, dan Lingga menunjukkkan adanya keterkaitan dengan agama Hindu dan India. Masuknya pengaruh Hindu ke Karo diduga pada abad I (awal tahun Masehi bersamaan dengan diperkenalkannya aksara Palawa (Wenggi) dan bahasa Sanskerta (T.L. Sinar, 1995:1). 2001. 

Kemudian pada abad ke-5 Masehi masuk agama Buddha ke Indonesia dan memperkenalkan tulisan "Nagari", yang merupakan asal tulisan Karo, Toba, Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan lain-lain. Pada tahun 414 M di Sumatera sudah ada beberapa kerajaan, tetapi tidak pasti di mana letaknya/Ini sesuai dengan catatan seorang pelaut Cina bernama Fahien. 

Pada tahun itu orang Cina juga belum ada menetap di daerah ini. Abad ke-9 M  nama-nama kerajaan Rami (Lamuri di Aceh), Balus (Barus), Jahe (Sriwijaya), Melayu dan Harlanj (Haru) sudah dikenal. Tahun 1011-1025 Rajendra I dari kerajaan Cola di India mengalahkan Sriwijaya, Melayu, dan Kedah. Di Lobu Tua, Barus, telah ditemukan prasasti (batu bersurat) tahun 1088 M yang isinya bahwa waktu itu telah berdiam masyarakat Tamil Hindu dan berdirinya serikat perdagangan Tamil Hindu yang disebut "Masyarakat 500".

 4. KERAJAAN HARU

Dalam Negara Kertagama diceritakan tentang Majapahit menyerbu Haru pada tahun 1331 (Muhammad Yamin, 1974: 51). Sementara dalam riwayat Raja-Raja Pasai dan sejarah Melayu disebutkan bahwa Nakhoda Ismail dari Mabri (Koromandel, India Selatan) bersama raja dari Tanah Arab bernama Fakir Muhammad mengislamkan Pasai. 

Raja Pasai Merah Silu lalu beralih nama menjadi "Malikul Saleh". Sebelum ke Samudera Pasai, kapal mereka sampai ke Haru dan mengislamkan Haru, baru kemudian balik ke Pasai (T.L. Sinar, 1995:4). Ini terjadi pada pertengahan abad ke-13.

Pada tahun 1282 M Haru mengirim misi ke Tiongkok. Tahun 1275 M Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur menyerang Sriwijaya dan Melayu, yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu Buku peraratan menyatakan bahwa Haru dapat ditaklukkan waktu itu. Pada tahun 1310 M seorang pedagang Persia bernama Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyidin mencatat tentang adanya Kerajaan Haru. 

Kroniek dinasti Ming, buku 325 menceritakan tentang misi dari Haru dipimpin Sultan Hustin (Sultan Husin). Laksamana Cheng Ho yang pernah datang ke Haru menceritakan bahwa pengganti Sultan Husin bernama Tuanku Alamsyah yang berturut-turut mengirim misi ke Cina tahun 1419, 1421, dan 1423 M (T.L. Sinar, 1995:4). 

Feisin dan Ma Huan mengatakan, letak ibu kota Haru di depan Pulau Sembilan, dapat dicapai dengan berlayar dari Melayu empat hari empat malam dan ada teluk air tawar. Haru berbatasan dengan pegunungan yang besar, dengan laut, dengan Kerajaan Samudera Pasai dan dengan dataran tempat padi  di tanam. 

Mereka mempergunakan sepasang kain, disebut "klaoni" untuk alat pembayaran. Hasil hutan dibarter dengan sutra berwarna, keramik, manik-manik, dan lain sebagainya. Rajanya beragama Islam. Para sarjana masih berbeda pendapat tentang letak ibu kota Kerajaan Haru namun sepakat, bahwa luas Kerajaan Haru dari pinggir Sungai Temiang sampai ke Sungai Rokan. 

Dalam peta Cina atau Wu Pei Shih (1433) disebut ketika kapal Cina berlayar dari arah barat pulang ke Cina, mereka melalui kerajaan-kerajaan dengan urutan sebagai berikut: 1. Su Men Ta La (Samudera Pasai), 2. Chu-Shui Wan (Lhok Seumawe), 3. Pa Lu T'hou (Perlak), 4. Kun Pei Chiang (Temiang), 5. Ya Lu (Haru), 6. Tan Hsu (Pulau berkala), dan seterusnya.J.V. Mills menetapkan letak ibu kota Haru bukan di depan Pulau Sembilan dekat Teluk Haru, tetapi di depan Pulau Sembilan dekat Perak, yaitu di muara Sungai Deli dengan pelabuhannya kota Cina itu (T.L. Sinar, 1995:5). 

Pada abad ke-15 Haru merupakan kerajaan terbesar di Sumatera di samping Pasai dan Malaka. Pada tahun 1477-1488 Malaka bermusuhan dengan Haru yang dipimpin oleh Maharaja Diraja putra almarhum Sultan Sujak (cucu Sultan Husin) yang mengirim misi ke Cina tahun 1407 M. Kemudian terjadi peperangan antara Haru dengan Pasai karena duta Kerajaan Haru, Raja Pahlawi dihina Sultan Pasai. 

Kemudian armada Malaka datang membantu Pasai. Peperangan berlangsung seri, tidak ada yang kalah dan karenanya berunding di Pangkalan Dungun. Delegasi Haru dipimpin oleh Raja Kembat dan Serbangan Raja Purba. Tidak jelas apa penyebabnya, ternyata bandar kota Cina telah tertimbun sedalam ±1 meter di bawah tanah. 

Laporan Portugis menyatakan bahwa ibu kota Haru dipindahkan ke atas Sungai Deli, yaitu ke Deli Tua. Laksamana Turki Sidi Ali Celebi (1554) mencatat bandar Haru bernama Medin (Medan) dan setelah melewati bandar itu kita sampai di Pulau Berhala. Tom Pires (Portugis) menulis, bahwa Raja Haru yang Islam berdiam di pedalaman. Rakyat Haru suka berperang dan menjadi  distributor dari hasil pedalaman Sumatera dan mempunyai pasar budak di Arqat (Rantau Prapat).

Dalam cerita ke-24 "Sejarah Melayu" disebutkan bahwa putra Sultan Sujak... "yang turun dari Batu Hilir dikata Hulu, Batu Hulu dikata Hilir". Menurut T.L. Sinar, kemungkinan tulisan Jawi itu kata "Ba, Ta, Wan" seharusnya ditulis "Ba-ta-kang" (Batak). Ini terjadi karena kekhilafan atau karena kesengajaan dengan tujuan tertentu. 

Maksud kalimat ini adalah orang Haru berasal dari Hulu (Karo), yang kemudian menjadi raja di daerah Hilir (pesisir) dan menjadi Melayu setelah masuk Islam. Diceritakan juga Sultan Mahmud Shah I diusir dari Malaka dan menetap di Pulau Bintan, lalu diserang oleh Portugis. Sultan Husin II dari Haru datang membantu, dan kemudian dikawinkan dengan putri Sultan Mahmud, bernama Raja Putih tahun 1520 M. 

Ribuan orang Melayu Johor kemudian turut pindah bersama Putri Raja Putih ke Haru. Pada bulan Januari dan November 1539 Haru diserang oleh Sultan Aceh Al Qahar (Sultan Alaidin Riyad Shah-I). Ini dituliskan oleh utusan Portugis bernama Ferdinand Mendez Pinto. Setelah lima hari perjalanan dari Malaka sampailah ke Sungai Panetikan tempat ibu kota Haru. Waktu itu Raja Haru sedang sibuk membangun benteng di kiri-kanan sungai. Letak istana 1 kilometer ke hulu. 

Haru hanya mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari pelarian Portugis di Pasai. Raja Haru Sultan Ali Boncar menyuruh mengungsikan wanita dan anak-anak termasuk permaisuri Ancme Sinny. Nama Boncar jelas berasal dari bahasa Karo, yang berarti berserakan atau terlempar. 

Jadi, mungkin sekali permaisuri yang disebut bernama Ancme Sinny berasal dari bahasa Karo "Amé Sinik". Aceh mempergunakan tentara bayaran dari Gujarat, Malabar India, Hadramaud, Lanur, dan lainnya. Setelah dikepung selama tujuh hari, Aceh berhasil menjebol dinding benteng dengan meriam dan menghancurkan dua kubu benteng setelah melalui jalan masuk. 

Karena banyak korban jatuh, maka pihak Aceh kemudian menyogok Kadi dan Panglima Haru dengan menebarkan uang emas. Ketika pasukan berebut mengambil emas-emas itu, pasukan Aceh berhasil merebut istana. Permaisuri Ancme Sinny (Amé Sinik) lalu memimpin gerilya, tetapi tidak dapat menyerang laskar Aceh. 

Amé Sinny lalu berlayar ke Malaka. Kedatangannya disambut Gubernur Portugis dengan baik namun, ia tidak bersedia membantu Haru menyerang Aceh. Ancme Sinny dan rombongan kemudian berlayar ke Bintan dan disambut Sultan Alandidin Riyatsyah II imperium Melayu-Riau-Johor. Pada tahun 1540 Sultan Riau, Johor dan Sultan Alanuddin Riayatsyah II mengirim armadanya ke Haru dan berhasil menyergap pasukan Aceh dan menguasai Haru. Ancme Sinny kemudian menikah dengan Sultan Riau, Johor.

5. DELI TUA IBU KOTA KERAJAAN HARUTengku Lukman Sinar, dalam makalahnya pada Kongres Kebudayaan Karo, tanggal 1, 2, dan 3 Desember 1995 di Berastagi menampilkan bukti-bukti, bahwa Deli Tua adalah ibu kota Kerajaan Haru. Adapun bukti-bukti menurutnya adalah sebagai berikut: 

a. Hikayat Aceh Sultan Aceh Saidi Mukamil meramalkan bahwa cucunya Sultan Iskandar Muda akan menjadi raja yang hebat dan akan mengalahkan Deli dan menangkap "Merah Milu" serta berhamba pada raja Johor dan Raja Melayu. Merah Milu tadinya adalah Gubernur Aceh di Haru dan Guri, yang kemudian berontak dari Aceh dan mengabdi kepada Sultan Johor. Ini terjadi setelah semua raja-raja dari Merah Milu bermusyawarah dengan bawah Gunung Guru (Haru)". 

Sultan Aceh Saidi Mukamil sangat murka atas hal itu dan mengerahkan pasukan gajah dari darat dan armada Aceh dari laut. Pasukan ini mendarat di Pangkalan Dungun dan mudik melalui Sungai Batangan. Terjadi perang hebat di Suka Mandi dan pasukan Aceh kalah dan yang lainnya pulang melalui Kuala ke Aceh. 

Sultan sangat murka lalu ia sendiri mengepalai pasukan Aceh menyerang Guri (Haru). Pasukan Aceh lalu mendarat di Pasir Putih, lalu masuk ke Kuala Guri. Dalam peta lain ada nama "Pasir Putih" di muara Sungai Belawan. Lalu mereka melalui Sungai Batangan itu merebut benteng Suka Mandi dan dalam pertempuran ini Mansyursyah (menantu Sultan dan ayah dari Sultan Iskandar Muda) tewas. 

Akhirnya, benteng Guri (Haru) bernama Malaka Muda (Gedung Johor Medan) dapat direbut dan Raja Johor lari ke Kuala Tanjung bersama Merah Milu naik kapal "Seri Paduka" kembali ke Johor. Rombongan armada Aceh lalu mengejar dan singgah di Asahan dan sampai di Batu Sawar (Johor Lama). 

Tetapi mereka tidak dapat merebut benteng itu karena pasukan Aceh sudah kehabisan bahan makanan dan Sultan Muda Aceh juga telah tewas. Akhirnya, panglima Syarif Al Muluk Pirus Khan mengusulkan agar pasukan kembali saja ke Aceh dan nanti akan dipersiapkan lagi ekspedisi baru. 

John Davis menyebutkan bahwa pada tahun 1599 M, Haru tunduk kepada Johor dan orang Van Warwijk mengatakan bahwa Haru sudah berontak kepada Aceh (Purchas I, p.223 dan Van Warwijk Begin Ende Voortgangh I, p.31). Dalam buku ini diketahui bahwa Gori adalah nama lama dari Haru dan disamakan dengan Deli.

B. W. MARSDEN HISTORY OF SUMATRAPada tahun 1612 M, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam dari Aceh dengan susah payah berhasil menaklukkan Deli dengan menggunakan taktik menyerbu dengan gajah perang sebanyak 100 ekor. Banyak penduduk Deli diangkut ke Aceh untuk dijadikan budak. Setengah di antaranya mati kelaparan dalam perjalanan. 

Hal ini dikemukakan oleh Raja Aceh dalam suratnya kepada Raja Inggris James dengan menyebut: menaklukkan raja yang mengampukan raja-raja yang beratus-ratus dari pihak musrik dalam negeri yang takluk Deli. Di sini Deli atau Haru yang sulit ditaklukkan nenek moyangnya.

C. TABAL MAHKOTA ASAHAN. Dalam Tabal mahkota Asahan disebutkan bahwa Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riyad Shah Al Qahar) dari dinasti Mahkota Alam, nenek pihak laki-laki dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, berhasil menaklukkan Asahan setelah sebelumnya berhasil menaklukkan benteng Putri Hijau di Deli Tua. Ini berarti Haru takluk kepada Aceh pada tahun 1539 sesuai dengan tulisan Mendez Pinto dan hikayat Aceh (lihat juga residen Asahan C.A. Kroesen "Geschiedenis van Asahan" TBG, 1886, p.156).

D. NEGARA KERTAGAMA. Dalam buku Negara Kertagama karangan Empu Prapanca (1365 M) disebutkan bahwa telah ditaklukkan Harw (Haru), Pane (Panai di Barumun), dan Kampe (Pulau Kampai di Teluk Haru). Dengan demikian, kelirulah menempatkan ibu kota Haru di Teluk Haru maupun di muara Sungai Panai. Di samping itu, penduduk Panai baru diislamkan di Zaman Tuanku Tambusai sudah pada abad XIX atau perang Paderi, sementara Haru diislamkan sejak abad XIII.

E. JOHN ANDERSON.  John Anderson dalam Mission to The Eastcoast of Sumatera (1823), ketika ke Deli mencatat bahwa sebuah reruntuhan benteng "Kota Jawa" dekat Medan, tempat dahulu berdiam tentara pendudukan Majapahit. Dia juga mencatat bahwa ada reruntuhan benteng Putri Hijau di Deli Tua dan menurut cerita rakyat, kapal bisa berlayar sampai ke Deli Tua di abad XVII. Benteng Deli Tua itu cocok untuk pertahanan terhadap serangan musuh yang datang berlayar masuk melalui laut. 

Pada tahun 1867 Deli Tua merupakan batas antara daerah penduduk Karo dengan Melayu dan di sana ditemukan banyak uang emas Aceh di sekitar benteng itu (Lihat Prof. P.J. Veth, Het Landschap Deli of Sumatera, p. 156).

F. BUSTANUSSALATIN. Syekh Nuuddin ar Raniri dalam bukunya Bustanussalatin (1637) menulis mengenai masa kehidupan Sultan Iskandar Tani, pengganti Sultan Iskandar Muda, yakni putra Sultan Pahang dan menantu dari Sultan Iskandar Muda. Dalam buku tersebut ia menyebutkan bahwa negeri Gori/Guri/Gurai dahulunya bernama Haru. 

Disebutkannya juga bahwa salah seorang nenek moyang Sultan Langkat (keturunan Kuta Buluh) ber-merga Peranginangin disebut setelah meninggal "Marhum Guri" dan makamnya di wilayah Hamparan Perak. Jadi, sekali lagi menjadi jelas bahwa Haru sama dengan Guri dan Gori atau Deli.

G. PETA KUNOPeta-peta Tiongkok Kuno abad XV menunjukkan bahwa pusat Haru ialah di muara Sungai Deli. Peta dari Sanson D. Abbeville (1615 M) menggambarkan negeri Gare (Gori) dekat Sungai Petani (Rio de Delim) serupa W.I. Bontekoe juga orang Portugis Descrobidor Emmanuel Godinho de Eredia dalam bukunya Declaracam de Malaca e India Meridional Como Cathay (1613) menyebutkan selain Ashacan (Asahan) juga sudah ada Gory untuk nama Deli. Jadi dari tulisan ini terbukti Haru adalah sama dengan Guri, Gori, dan sama dengan Deli.

H.  WAN SULONG BAHAR BARUS. Pada tahun 1879 untuk menentukan batas antara Senembah Serdang dengan Patumbak Deli, Residen Sumatera Timur J. Faes mewawancarai seorang bangsawan Senembah bernama Wan Sulong Bahar Barus tentang asal-usul raja Senembah Patumbak. 

Sulong Bahar Barus mengatakan bahwa nenek moyang Senembah adalah Si Belang Pinggel (Belang Cuping) atau si Telinga Lebar. Si Belang Pinggel datang ke Senembah di hulu Sungai Belumai (Sungai Serdang) menemui raja yang berkuasa di situ bermarga Karo Sekali dan rakyatnya adalah orang Haru. 

Belang Pinggel kemudian menjadi raja di sana, ketika meninggal ia digantikan oleh putranya Bedah Sari Barus. Bedah Sari Barus ini mendapat gelar "Sawit Deli" dari Raja Deli asal Karo yang berpusat di Deli Tua. Rakyat yang tinggal pada waktu itu adalah orang Haru atau Aru. Jadi di sini terbukti bahwa Haru sama dengan Deli di Deli Tua.

I. MERIAM LELAPada tahun 1868 di Sungai Petani Deli Tua, controleur Deli yang pertama bernama Cats Baron de Raet menemukan sebuah meriam lela kecil. Meriam itu lalu dikirim ke museum pusat di Jakarta (dahulu Batavia). Pada meriam itu ada tulisan Jawi, Melayu berbunyi: sanat... 03 alamat Balun Haru (E. Netscher de Notulen der Vergadering v.h. Gennootschap, IV. p. 271). 

Apabila tahun hijriyah yang hilang itu adalah 1003, maka ini cocok dengan tahun Masehi 1593, yakni masa perang Sultan Aceh Al Qahar ke Haru sesuai cerita Mendes Pinto. Menarik juga surat Sultan Johor kepada Sultan Al Qahar dari Aceh seperti ditulis Mendez Pinto, dengan menyebut dirinya Siberaya Qendu, telah menguasai para sarjana Inggris maupun Amerika sependapat, bahwa letak ibu kota Haru adalah dekat Sungai Deli (Sungai Petani). Pada abad XVI nama Haru ataupun Guri sudah lenyap dan lahirlah nama Deli. 

Sumber : Buku Adat Karo Oleh : Darwan Prinst,SH (2004)

4 komentar:

  1. Bujur melala Ibas tulisen Enda nggo dat kami Turi Turin sejarah Karo...bujur PMS...Mejuahjuah

    BalasHapus
  2. Mantap luar biasa🥰🥰🥰
    Karo bersatu !!!
    Karo berbudaya !!!
    Karo jaya !!!

    BalasHapus
  3. bujur ras mejuahjuah man banta kerina

    BalasHapus

Mohon Tinggalkan Pesan