PMS DAIRI - WILAYAH SUKU KARO. Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari, seperti Taneh Karo diindentikkan dengan Kabupaten Karo, Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi: a. Kabupaten Karo. b. Sebagian dari Kabupaten Dairi, yaitu: 1. Kecamatan Taneh Pinem 2. Kecamatan Tiga Lingga c. Sebagian dari Kabupaten Deli Serdang, yaitu: 1. Kecamatan Lubuk Pakam. 2. Kecamatan Bangun Purba. 3. Kecamatan Galang. 4. Kecamatan Gunung Meriah. 5. Kecamatan Sibolangit. 6. Kecamatan Pancur Batu. 7. Kecamatan Namo Rambe. 8. Kecamatan Sunggal. 9. Kecamatan Kutalimbaru. 10. Kecamatan STM Hilir. 11. Kecamatan Hamparan Perak. 12. Kecamatan Tanjung Morawa...
13. Kecamatan Sibiru-biru. d. Kabupaten Langkat, yaitu: 1. Kecamatan Padang Tualang (Batang Serangan) 2. Kecamatan Bahorok. 3. Kecamatan Selapian. 4. Kecamatan Kuala. 5. Kecamatan Selesai. 6. Kecamatan Sungai Bingai. 7. Kota Madya Binjai. Kecamatan Stabat. Bahkan wilayah Karo ini juga sampai di sekitar Pangkalan Berandan, tempat ditemukannya Sungai Pelawi dan Titi Pelawi serta Pulau Kampai. Berdasarkan informasi seorang marga Sembiring Depari di Bekancan ini tadinya termasuk kekuasaan marga Sembiring Pelawi.
e. Sebagian Kabupaten Aceh Tenggara, yakni Kecamatan Lau Sigalagala (dengan desa-desa yaitu Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga) dan Kecamatan Simpang Simadam. f. Kota Madya Medan. Pendiri kota Medan adalah Guru Patimpus Sembiring Pelawi, yakni seorang putra Karo.
2. ZAMAN PRASEJARAH. Etnis Karo termasuk ras Proto Melayu (Palaelo Mongoloid) yang
bercampur dengan ras Negro (Negrito). Ras Negro telah mendiami daerah Nusantara
sekitar 12.000 tahun lalu. Terjadinya percampuran antara orang Karo dengan ras
Negroid yang disebut umang itu, seperti terungkap dalam legenda:
1. Tindang (Ginting)
kawin dengan Putri Umang. 2. Nenek moyang marga Purba kawin dengan Umang. 3.
Raja Aji Nembah yang kawin dengan Putri Umang, dan lainnya. Manusia umang ini
hidup dalam goa-goa di lubang batu, seperti terdapat di Durintani, Sembahe;
Suka Luei, Deli Serdang (Batu Kemang). Perkakas mereka terbuat dari batu yang
diasah tajam disebut "Sumatra Lith".
Makanan mereka adalah
kerang (Kjokkenmodinger) yang banyak terdapat dalam radius 130 kilometer antara
Temiang sampai Serdang (Tengku Lukman Sinar, 1995:1). Lubang-lubang umang ini
juga terdapat di Deleng Batu Milmil (Mburidi), Seberaya, Lau Borus
(Sukatendel), Benubung dan lainnya.
Pada abad 1 Masehi
terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia. Pada
waktu itu jugalah diperkenalkan aksara Palawa (Wenggi) dan bahasa Sanskerta.
Bekas peninggalan dari agama Hindu ini masih terlihat dalam kepercayaan
tradisional etnik Karo, seperti perwujudan Tuhan dalam tiga bentuk.
Pendatang-pendatang dari
India Selatan ini memperkenalkan ajaran agama Hindu. Kemudian pada abad ke-5 M
datang pula migrasi Hindu dari India, yang memperkenalkan agama Buddha dan
tulisan "Nagari". Aksara inilah yang menjadi cikal bakal aksara Batak,
Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan lainnya (T.L. Sinar, 1995:1). Pada abad ke-9
disebut-sebut nama kerajaan yang ada di Pulau Sumatera adalah Rami (Lamuridi
Aceh), Melayu dan Harladji (Haru).
Tahun 1979 dilakukan
ekspansi di kota Cina Labuhan Deli, di sana ditemukan uang cina zaman dinasti
Tang (sebelum 756 M), pualam keramik, batu tempat candi, serta
patung-patung Hindu dan Buddha sampai akhir abad ke-13. Penemuan serupa juga
terdapat di Pulau Kampai (T.L. Sinar, 1995:2). Menurut sejarah perkembangan
Pemerintahan Kota madya Daerah Tingkat II Medan, pada tahun 1925 dan 1926, Vain
Stein Callenfels menemukan tumpukan kulit kerang (Kjokkenmodinger) di
perkebunan tembakau seritis.
Dalam tumpukan kulit
kerang itu ditemukan juga peralatan manusia prasejarah, berupa serpih bilah
(flaked pubble-tools) dan beberapa lumpang batu dan alat tumbuknya yang masih
sangat kasar buatannya. Tumpukan kulit kerang ini juga ditemukan di perkebunan
Buluh Cina dan Tandan Hilir.
Ini menurut para ahli
berasal dari zaman batu madya (mesolitikum). Penemuan-penemuan ini
menunjukkkan, bahwa di daerah ini pernah hidup manusia purba: sekitar ± 10.000
tahun lalu. Daerah-daerah yang disebut di atas termasuk wilayah Karo dan
karenanya menjadi jelas, bahwa di daerah Karo sudah hidup manusia purba sekitar
±10.000 tahun yang lalu.
Manusia-manusia purba
ini diperkirakan hidup di daerah Karo dari tahun ± 4.500 sampai ±2.500 SM, yang
kemudian terdesak dan bercampur dengan ras Mongoloid yang datang dari daratan
Asia 5.000 tahun lalu. Etnik Karo erat kaitannya dengan etnis Gayo dan Alas.
Ini bisa dilihat dari persamaan merga seperti Ginting, Sibero, Bukit, Tarigan,
Lingga, dan Suka.
Demikian juga dengan
etnik Pakpak (Dairi) erat kaitannya seperti persamaan merga pada kedua etnik
tersebut, misalnya Maha, Lingga, Sibero (Cibero di Pakpak), Lingga, Manik,
Munte, dan Sebayang.
3. ZAMAN HINDU-BUDDHA
Kepercayaan tradisional
etnik Karo banyak persamaannya dengan agama Hindu. Misalnya penjelmaan Tuhan
(Dibata) dalam tiga wujud. Dalam agama Hindu perwujudan ini disebut: 1.
Brahmana Pencipta Alam, 2. Waisya Pemelihara Alam, dan 3. Syiwa Perusak
Alam.
Sementara dalam
kepercayaan Karo tradisional (pemena) perwujudan itu disebut. 1. Dibata Datas
(Kaci-kaci). 2. Dibata Tengah (Banua Koling) 3. Dibata Teruh Padukah Ni
Aji). Kebudayaan membakar mayat seperti terdapat di India dan Bali juga
terdapat dalam masyarakat Karo. Abu-abu mayat yang telah dibakar, dihanyutkan
dengan perahu-perahu kecil di Lau Biang. Ini menunjukkan adanya keterkaitan
dengan budaya Hindu.
Berdasarkan penelitian
Kongres Kebudayaan Karo pembakaran mayat ini terakhir dilakukan tahun 1939
seperti terjadi di Perbesi dan Buah Raya. Alat-alat usungan mayat, seperti
ligé-ligé dan kalimbaban (kejeren) mirip usungan mayat di Bali pada acara
ngaben. Demikian dukun (guru) Karo yang sedang kesurupan (bermantra) memakai
kain putih (dagangen) sebagai pakaiannya, baik sebagai tudung (untuk wanita)
dan bulang (untuk pria).
Ini sama dengan
kebiasaan orang-orang Hindu dan Bali. Beberapa submarga Karo, seperti Brahmana,
Pandia, Colia Manik, dan Lingga menunjukkkan adanya keterkaitan dengan agama
Hindu dan India. Masuknya pengaruh Hindu ke Karo diduga pada abad I (awal tahun
Masehi bersamaan dengan diperkenalkannya aksara Palawa (Wenggi) dan bahasa
Sanskerta (T.L. Sinar, 1995:1). 2001.
Kemudian pada abad ke-5
Masehi masuk agama Buddha ke Indonesia dan memperkenalkan tulisan
"Nagari", yang merupakan asal tulisan Karo, Toba, Melayu Kuno, Jawa
Kuno, dan lain-lain. Pada tahun 414 M di Sumatera sudah ada beberapa kerajaan,
tetapi tidak pasti di mana letaknya/Ini sesuai dengan catatan seorang pelaut
Cina bernama Fahien.
Pada tahun itu orang
Cina juga belum ada menetap di daerah ini. Abad ke-9 M nama-nama
kerajaan Rami (Lamuri di Aceh), Balus (Barus), Jahe (Sriwijaya), Melayu dan
Harlanj (Haru) sudah dikenal. Tahun 1011-1025 Rajendra I dari kerajaan Cola di
India mengalahkan Sriwijaya, Melayu, dan Kedah. Di Lobu Tua, Barus, telah
ditemukan prasasti (batu bersurat) tahun 1088 M yang isinya bahwa waktu itu
telah berdiam masyarakat Tamil Hindu dan berdirinya serikat perdagangan Tamil
Hindu yang disebut "Masyarakat 500".
4. KERAJAAN HARU
Dalam Negara Kertagama
diceritakan tentang Majapahit menyerbu Haru pada tahun 1331 (Muhammad Yamin,
1974: 51). Sementara dalam riwayat Raja-Raja Pasai dan sejarah Melayu
disebutkan bahwa Nakhoda Ismail dari Mabri (Koromandel, India Selatan) bersama
raja dari Tanah Arab bernama Fakir Muhammad mengislamkan Pasai.
Raja Pasai Merah Silu
lalu beralih nama menjadi "Malikul Saleh". Sebelum ke Samudera Pasai,
kapal mereka sampai ke Haru dan mengislamkan Haru, baru kemudian balik ke Pasai
(T.L. Sinar, 1995:4). Ini terjadi pada pertengahan abad ke-13.
Pada tahun 1282 M Haru
mengirim misi ke Tiongkok. Tahun 1275 M Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur
menyerang Sriwijaya dan Melayu, yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu Buku
peraratan menyatakan bahwa Haru dapat ditaklukkan waktu itu. Pada tahun 1310 M
seorang pedagang Persia bernama Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyidin mencatat
tentang adanya Kerajaan Haru.
Kroniek dinasti Ming,
buku 325 menceritakan tentang misi dari Haru dipimpin Sultan Hustin (Sultan
Husin). Laksamana Cheng Ho yang pernah datang ke Haru menceritakan bahwa
pengganti Sultan Husin bernama Tuanku Alamsyah yang berturut-turut mengirim
misi ke Cina tahun 1419, 1421, dan 1423 M (T.L. Sinar, 1995:4).
Feisin dan Ma Huan
mengatakan, letak ibu kota Haru di depan Pulau Sembilan, dapat dicapai dengan
berlayar dari Melayu empat hari empat malam dan ada teluk air tawar. Haru
berbatasan dengan pegunungan yang besar, dengan laut, dengan Kerajaan Samudera
Pasai dan dengan dataran tempat padi di tanam.
Mereka mempergunakan
sepasang kain, disebut "klaoni" untuk alat pembayaran. Hasil hutan
dibarter dengan sutra berwarna, keramik, manik-manik, dan lain sebagainya.
Rajanya beragama Islam. Para sarjana masih berbeda pendapat tentang letak ibu
kota Kerajaan Haru namun sepakat, bahwa luas Kerajaan Haru dari pinggir
Sungai Temiang sampai ke Sungai Rokan.
Dalam peta Cina atau Wu
Pei Shih (1433) disebut ketika kapal Cina berlayar dari arah barat pulang ke
Cina, mereka melalui kerajaan-kerajaan dengan urutan sebagai berikut: 1. Su Men
Ta La (Samudera Pasai), 2. Chu-Shui Wan (Lhok Seumawe), 3. Pa Lu T'hou
(Perlak), 4. Kun Pei Chiang (Temiang), 5. Ya Lu (Haru), 6. Tan Hsu (Pulau
berkala), dan seterusnya.J.V. Mills menetapkan letak ibu kota Haru bukan di
depan Pulau Sembilan dekat Teluk Haru, tetapi di depan Pulau Sembilan dekat
Perak, yaitu di muara Sungai Deli dengan pelabuhannya kota Cina itu (T.L.
Sinar, 1995:5).
Pada abad ke-15 Haru
merupakan kerajaan terbesar di Sumatera di samping Pasai dan Malaka. Pada tahun
1477-1488 Malaka bermusuhan dengan Haru yang dipimpin oleh Maharaja Diraja
putra almarhum Sultan Sujak (cucu Sultan Husin) yang mengirim misi ke Cina
tahun 1407 M. Kemudian terjadi peperangan antara Haru dengan Pasai karena duta
Kerajaan Haru, Raja Pahlawi dihina Sultan Pasai.
Kemudian armada Malaka
datang membantu Pasai. Peperangan berlangsung seri, tidak ada yang kalah
dan karenanya berunding di Pangkalan Dungun. Delegasi Haru dipimpin oleh Raja
Kembat dan Serbangan Raja Purba. Tidak jelas apa penyebabnya, ternyata bandar
kota Cina telah tertimbun sedalam ±1 meter di bawah tanah.
Laporan Portugis
menyatakan bahwa ibu kota Haru dipindahkan ke atas Sungai Deli, yaitu ke Deli
Tua. Laksamana Turki Sidi Ali Celebi (1554) mencatat bandar Haru bernama Medin
(Medan) dan setelah melewati bandar itu kita sampai di Pulau Berhala. Tom Pires
(Portugis) menulis, bahwa Raja Haru yang Islam berdiam di pedalaman. Rakyat Haru
suka berperang dan menjadi distributor dari hasil pedalaman Sumatera
dan mempunyai pasar budak di Arqat (Rantau Prapat).
Dalam cerita ke-24
"Sejarah Melayu" disebutkan bahwa putra Sultan Sujak... "yang
turun dari Batu Hilir dikata Hulu, Batu Hulu dikata Hilir". Menurut T.L.
Sinar, kemungkinan tulisan Jawi itu kata "Ba, Ta, Wan" seharusnya
ditulis "Ba-ta-kang" (Batak). Ini terjadi karena kekhilafan atau
karena kesengajaan dengan tujuan tertentu.
Maksud kalimat ini
adalah orang Haru berasal dari Hulu (Karo), yang kemudian menjadi raja di
daerah Hilir (pesisir) dan menjadi Melayu setelah masuk Islam. Diceritakan juga
Sultan Mahmud Shah I diusir dari Malaka dan menetap di Pulau Bintan, lalu
diserang oleh Portugis. Sultan Husin II dari Haru datang membantu, dan kemudian
dikawinkan dengan putri Sultan Mahmud, bernama Raja Putih tahun 1520 M.
Ribuan orang Melayu
Johor kemudian turut pindah bersama Putri Raja Putih ke Haru. Pada bulan
Januari dan November 1539 Haru diserang oleh Sultan Aceh Al Qahar (Sultan
Alaidin Riyad Shah-I). Ini dituliskan oleh utusan Portugis bernama Ferdinand
Mendez Pinto. Setelah lima hari perjalanan dari Malaka sampailah ke Sungai
Panetikan tempat ibu kota Haru. Waktu itu Raja Haru sedang sibuk membangun
benteng di kiri-kanan sungai. Letak istana 1 kilometer ke hulu.
Haru
hanya mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari pelarian Portugis di
Pasai. Raja Haru Sultan Ali Boncar menyuruh mengungsikan wanita dan anak-anak
termasuk permaisuri Ancme Sinny. Nama Boncar jelas berasal dari bahasa Karo,
yang berarti berserakan atau terlempar.
Jadi, mungkin sekali
permaisuri yang disebut bernama Ancme Sinny berasal dari bahasa Karo "Amé
Sinik". Aceh mempergunakan tentara bayaran dari Gujarat, Malabar India,
Hadramaud, Lanur, dan lainnya. Setelah dikepung selama tujuh hari, Aceh
berhasil menjebol dinding benteng dengan meriam dan menghancurkan dua kubu
benteng setelah melalui jalan masuk.
Karena banyak korban
jatuh, maka pihak Aceh kemudian menyogok Kadi dan Panglima Haru dengan
menebarkan uang emas. Ketika pasukan berebut mengambil emas-emas itu, pasukan
Aceh berhasil merebut istana. Permaisuri Ancme Sinny (Amé Sinik) lalu memimpin
gerilya, tetapi tidak dapat menyerang laskar Aceh.
Amé Sinny lalu berlayar
ke Malaka. Kedatangannya disambut Gubernur Portugis dengan baik namun, ia tidak
bersedia membantu Haru menyerang Aceh. Ancme Sinny dan rombongan kemudian
berlayar ke Bintan dan disambut Sultan Alandidin Riyatsyah II imperium
Melayu-Riau-Johor. Pada tahun 1540 Sultan Riau, Johor dan Sultan Alanuddin
Riayatsyah II mengirim armadanya ke Haru dan berhasil menyergap pasukan Aceh
dan menguasai Haru. Ancme Sinny kemudian menikah dengan Sultan Riau, Johor.
5. DELI TUA IBU KOTA KERAJAAN HARU. Tengku Lukman Sinar, dalam makalahnya pada Kongres Kebudayaan Karo,
tanggal 1, 2, dan 3 Desember 1995 di Berastagi menampilkan bukti-bukti, bahwa
Deli Tua adalah ibu kota Kerajaan Haru. Adapun bukti-bukti menurutnya adalah
sebagai berikut:
a. Hikayat Aceh Sultan
Aceh Saidi Mukamil meramalkan bahwa cucunya Sultan Iskandar Muda akan menjadi
raja yang hebat dan akan mengalahkan Deli dan menangkap "Merah Milu"
serta berhamba pada raja Johor dan Raja Melayu. Merah Milu tadinya adalah
Gubernur Aceh di Haru dan Guri, yang kemudian berontak dari Aceh dan mengabdi
kepada Sultan Johor. Ini terjadi setelah semua raja-raja dari Merah Milu
bermusyawarah dengan bawah Gunung Guru (Haru)".
Sultan Aceh Saidi
Mukamil sangat murka atas hal itu dan mengerahkan pasukan gajah dari darat dan
armada Aceh dari laut. Pasukan ini mendarat di Pangkalan Dungun dan mudik
melalui Sungai Batangan. Terjadi perang hebat di Suka Mandi dan pasukan Aceh
kalah dan yang lainnya pulang melalui Kuala ke Aceh.
Sultan sangat murka lalu
ia sendiri mengepalai pasukan Aceh menyerang Guri (Haru). Pasukan Aceh lalu mendarat
di Pasir Putih, lalu masuk ke Kuala Guri. Dalam peta lain ada nama "Pasir
Putih" di muara Sungai Belawan. Lalu mereka melalui Sungai Batangan itu
merebut benteng Suka Mandi dan dalam pertempuran ini Mansyursyah (menantu
Sultan dan ayah dari Sultan Iskandar Muda) tewas.
Akhirnya, benteng
Guri (Haru) bernama Malaka Muda (Gedung Johor Medan) dapat direbut dan
Raja Johor lari ke Kuala Tanjung bersama Merah Milu naik kapal "Seri
Paduka" kembali ke Johor. Rombongan armada Aceh lalu mengejar dan singgah di
Asahan dan sampai di Batu Sawar (Johor Lama).
Tetapi mereka tidak
dapat merebut benteng itu karena pasukan Aceh sudah kehabisan bahan makanan dan
Sultan Muda Aceh juga telah tewas. Akhirnya, panglima Syarif Al Muluk Pirus
Khan mengusulkan agar pasukan kembali saja ke Aceh dan nanti akan dipersiapkan
lagi ekspedisi baru.
John Davis menyebutkan
bahwa pada tahun 1599 M, Haru tunduk kepada Johor dan orang Van Warwijk
mengatakan bahwa Haru sudah berontak kepada Aceh (Purchas I, p.223 dan Van
Warwijk Begin Ende Voortgangh I, p.31). Dalam buku ini diketahui bahwa Gori
adalah nama lama dari Haru dan disamakan dengan Deli.
B. W. MARSDEN HISTORY OF SUMATRA. Pada tahun 1612 M, Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam dari Aceh
dengan susah payah berhasil menaklukkan Deli dengan menggunakan taktik
menyerbu dengan gajah perang sebanyak 100 ekor. Banyak penduduk Deli diangkut
ke Aceh untuk dijadikan budak. Setengah di antaranya mati kelaparan dalam
perjalanan.
Hal ini dikemukakan oleh
Raja Aceh dalam suratnya kepada Raja Inggris James dengan menyebut: menaklukkan
raja yang mengampukan raja-raja yang beratus-ratus dari pihak musrik dalam
negeri yang takluk Deli. Di sini Deli atau Haru yang sulit ditaklukkan nenek
moyangnya.
C. TABAL MAHKOTA ASAHAN.
Dalam Tabal mahkota Asahan disebutkan bahwa Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan
Berdaulat (Sultan Alaiddin Riyad Shah Al Qahar) dari dinasti Mahkota Alam,
nenek pihak laki-laki dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, berhasil
menaklukkan Asahan setelah sebelumnya berhasil menaklukkan benteng Putri Hijau
di Deli Tua. Ini berarti Haru takluk kepada Aceh pada tahun 1539 sesuai dengan
tulisan Mendez Pinto dan hikayat Aceh (lihat juga residen Asahan C.A.
Kroesen "Geschiedenis van Asahan" TBG, 1886, p.156).
D. NEGARA KERTAGAMA. Dalam buku Negara Kertagama karangan Empu Prapanca (1365 M)
disebutkan bahwa telah ditaklukkan Harw (Haru), Pane (Panai di Barumun), dan
Kampe (Pulau Kampai di Teluk Haru). Dengan demikian, kelirulah menempatkan ibu
kota Haru di Teluk Haru maupun di muara Sungai Panai. Di samping itu, penduduk
Panai baru diislamkan di Zaman Tuanku Tambusai sudah pada abad XIX atau perang
Paderi, sementara Haru diislamkan sejak abad XIII.
E. JOHN ANDERSON. John Anderson dalam Mission to The Eastcoast of Sumatera (1823),
ketika ke Deli mencatat bahwa sebuah reruntuhan benteng "Kota Jawa"
dekat Medan, tempat dahulu berdiam tentara pendudukan Majapahit. Dia juga
mencatat bahwa ada reruntuhan benteng Putri Hijau di Deli Tua dan menurut
cerita rakyat, kapal bisa berlayar sampai ke Deli Tua di abad XVII. Benteng
Deli Tua itu cocok untuk pertahanan terhadap serangan musuh yang datang
berlayar masuk melalui laut.
Pada tahun 1867
Deli Tua merupakan batas antara daerah penduduk Karo dengan Melayu dan di sana
ditemukan banyak uang emas Aceh di sekitar benteng itu (Lihat Prof. P.J. Veth,
Het Landschap Deli of Sumatera, p. 156).
F. BUSTANUSSALATIN. Syekh
Nuuddin ar Raniri dalam bukunya Bustanussalatin (1637) menulis mengenai masa
kehidupan Sultan Iskandar Tani, pengganti Sultan Iskandar Muda, yakni putra
Sultan Pahang dan menantu dari Sultan Iskandar Muda. Dalam buku tersebut ia
menyebutkan bahwa negeri Gori/Guri/Gurai dahulunya bernama Haru.
Disebutkannya juga bahwa
salah seorang nenek moyang Sultan Langkat (keturunan Kuta Buluh) ber-merga
Peranginangin disebut setelah meninggal "Marhum Guri" dan makamnya di
wilayah Hamparan Perak. Jadi, sekali lagi menjadi jelas bahwa Haru sama dengan
Guri dan Gori atau Deli.
G. PETA KUNO. Peta-peta Tiongkok Kuno
abad XV menunjukkan bahwa pusat Haru ialah di muara Sungai Deli. Peta dari
Sanson D. Abbeville (1615 M) menggambarkan negeri Gare (Gori) dekat Sungai
Petani (Rio de Delim) serupa W.I. Bontekoe juga orang Portugis Descrobidor
Emmanuel Godinho de Eredia dalam bukunya Declaracam de Malaca e India
Meridional Como Cathay (1613) menyebutkan selain Ashacan (Asahan) juga sudah
ada Gory untuk nama Deli. Jadi dari tulisan ini terbukti Haru adalah sama
dengan Guri, Gori, dan sama dengan Deli.
H. WAN SULONG BAHAR BARUS. Pada tahun 1879 untuk menentukan batas antara Senembah Serdang
dengan Patumbak Deli, Residen Sumatera Timur J. Faes mewawancarai seorang
bangsawan Senembah bernama Wan Sulong Bahar Barus tentang asal-usul raja
Senembah Patumbak.
Sulong Bahar Barus
mengatakan bahwa nenek moyang Senembah adalah Si Belang Pinggel (Belang Cuping)
atau si Telinga Lebar. Si Belang Pinggel datang ke Senembah di hulu Sungai
Belumai (Sungai Serdang) menemui raja yang berkuasa di situ bermarga Karo
Sekali dan rakyatnya adalah orang Haru.
Belang Pinggel kemudian
menjadi raja di sana, ketika meninggal ia digantikan oleh putranya Bedah
Sari Barus. Bedah Sari Barus ini mendapat gelar "Sawit Deli" dari
Raja Deli asal Karo yang berpusat di Deli Tua. Rakyat yang tinggal pada waktu
itu adalah orang Haru atau Aru. Jadi di sini terbukti bahwa Haru sama dengan
Deli di Deli Tua.
I. MERIAM LELA. Pada
tahun 1868 di Sungai Petani Deli Tua, controleur Deli yang pertama bernama Cats
Baron de Raet menemukan sebuah meriam lela kecil. Meriam itu lalu dikirim ke
museum pusat di Jakarta (dahulu Batavia). Pada meriam itu ada tulisan Jawi,
Melayu berbunyi: sanat... 03 alamat Balun Haru (E. Netscher de Notulen der
Vergadering v.h. Gennootschap, IV. p. 271).
Apabila tahun hijriyah
yang hilang itu adalah 1003, maka ini cocok dengan tahun Masehi 1593, yakni
masa perang Sultan Aceh Al Qahar ke Haru sesuai cerita Mendes Pinto. Menarik
juga surat Sultan Johor kepada Sultan Al Qahar dari Aceh seperti ditulis Mendez
Pinto, dengan menyebut dirinya Siberaya Qendu, telah menguasai para sarjana
Inggris maupun Amerika sependapat, bahwa letak ibu kota Haru adalah dekat
Sungai Deli (Sungai Petani). Pada abad XVI nama Haru ataupun Guri sudah lenyap
dan lahirlah nama Deli.
Bujur melala Ibas tulisen Enda nggo dat kami Turi Turin sejarah Karo...bujur PMS...Mejuahjuah
BalasHapusMantap luar biasa🥰🥰🥰
BalasHapusKaro bersatu !!!
Karo berbudaya !!!
Karo jaya !!!
bujur ras mejuahjuah man banta kerina
BalasHapus👍❤️❤️🙏
BalasHapus