Sementara itu Ketua DPD PMS Dairi kembali menyampaikan apresiasi luar biasa kepada Kapolres Dairi termasuk Kasat Reskrim Polres Dairi AKP. Rismanto Purba, SH, MH seorang kandidat Doktor Hukum yang menunjukkan kepiawaiannya dalam tugas termasuk mendukung Restorative Justice terwujud.
“Saya atas nama Pemuda Merga Silima Kabupaten Dairi, mengucapkan terimakasih kepada Bapak Kapolres Dairi AKBP. Wahyudi Rahman, SH, S.I.K, MM yang baru saja menerima piagam penghargaan sebagai Juara 5 (lima) se-Indonesia Kompolnas Awards Tahun 2022, beliau adalah sosok perwira menengah pertama di Polres Dairi yang berhasil mengharumkan nama Polres Dairi di tingkat Nasional. Tergambarkanlah dalam restorative justice saat ini, nyata beliau memang Polisi yang loyal kepada Kapolri” pungkas Robert Ginting.
Prinsip Restorative Justice atau Keadilan Restoratif saat ini mulai diadopsi dan diterapkan oleh lembaga penegak hukum di Indonesia. Menurut Kevin I. Minor dan J.T. Morrison dalam buku "A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives" (1996), restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak. Keadilan restoratif adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Sedangkan menurut laman resmi Mahkamah Agung, prinsip restorative justice adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA). Prinsip keadilan restoratif atau restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.
Dialog dan mediasi dalam keadilan restoratif melibatkan beberapa pihak di antaranya pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait. Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.
Prinsip utama dalam keadilan restorative adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. Penerapan keadilan restoratif bermula dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian di luar peradilan yang dilakukan masyarakat, yang disebut dengan victim offender mediation (VOM), di Kanada pada 1970-an.
Restorative Justice Program itu mulanya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukum yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Menurut pakar hukum pidana Mardjono Reksodiputro, ditulis oleh Jurnal Perempuan (2019), restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.
Baca juga: RUU TPKS Tidak Mengatur Pendekatan
Restorative Justice Mardjono mengatakan, restorative justice penting dikaitkan
dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap
sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada
tujuan retributif, yaitu menekankan keadilan pada pembalasan, dan mengabaikan
peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya. Penerapan
Restorative Justice di Indonesia Salah satu landasan penerapan restorative
justice oleh Mahkamah Agung dibuktikan dengan pemberlakuan kebijakan melalui
Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Panduan restorative justice dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020. Tujuan panduan restorative justice oleh MA adalah mendorong peningkatan penerapan konsep itu dan terpenuhinya asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan keadilan yang seimbang. Menurut MA, konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482).
Selain itu, prinsip restorative justice juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahguna narkotika. Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020. Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Yang menjadi fokus utama Sigit dalam penerapan prinsip restorative justice adalah dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.
Sementara itu, Listyo menyatakan tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice. Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif juga sudah dilakukan sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan, namun tata pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum dilakukan secara optimal.
Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Hal ini bertujuan untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Selain itu restorative
justice dapat digunakan terhadap anak atau perempuan
yang sedang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau
saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahgunaan narkotika. Di
dalam restorative justice terdapat prinsip dasar yang
merupakan pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan
memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku yang melakukan kerja
sosial, maupun kesepakatan lain.
Hukum yang digunakan di
dalam restorative
justice tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak
sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai peraturan
perundang-undangan serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan
keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan. Berdasarkan Peraturan Jaksa
Agung No. 15 Tahun 2020, syarat dalam melakukan restorative justice, yaitu:
1. Tindak pidana
yang baru pertama kali dilakukan
2. Kerugian dibawah
Rp 2,5 juta
3. Adanya
kesepakatan antara pelaku dan korban
4. Tindak pidana
hanya diancam dengan pidana denda atau dianca, dengan pidana penjara tidak
lebih dari 5 tahun
5. Tersangka
mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban
6. Tersangka
mengganti kerugian korban
7. Tersangka
mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan atau memperbaiki
kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana
Penyelesaian perkara
dengan restorative
justice dikecualikan untuk tindak pidana terhadap keamanan
negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara
sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selain itu, restorative
justice tidak berlaku pada tindak pidana yang diancam dengan
ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, lingkungan hidup, dan yang
dilakukan korporasi.
Dalam melakukan restorative
justice perlu dilakukan beberapa pedoman, di antaranya:
1. Setelah menerima
permohonan perdamaian kedua belah pihak yang ditandatangani di atas materai,
dilakukan penelitian administrasi syarat formil penyelesaian perkara melalui restorative
justice.
2. Permohonan perdamaian setelah persyaratan formil terpenuhi
diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan.
3. Setelah permohonan disetujui oleh atasan penyidik seperti
Kabareskrim, Kapolda, Kapolres untuk selanjutnya menunggu ditetapkan waktu
pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian.
4. Pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan
yang ditandatangani semua pihak yang terlibat.
5. Membuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker perihal
permohonan dilaksanakannya gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian
perkara.
6. Melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor dan atau keluarga pelapor, terlapor dan atau keluarga terlapor, dan perwakilan masyarakat yang ditunjuk penyidik, penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pemerintahan bila diperlukan.
7. Menyusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus
serta laporan hasil gelar perkara.
8. Menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan dan
surat ketetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative
justice.
9. Dalam tahap penyelidikan, penyelidik menerbitkan surat
perintah yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri, tingkat
Polda, dan tingkat Polres atau Polsek.
10. Mencatat ke dalam buku register baru B-19 sebagai perkara restorative justice dihitung sebagai penyelesaian perkara.
Sumber : www.nasional.kompas.com dan www.hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Pesan