Pada hari pelaksanaan upacara adat tersebut, Desa Kawar
tampak ramai dan semarak. Para penduduk mengenakan pakaian yang berwarna-warni
serta perhiasan yang indah. Kaum perempuan pada sibuk memasak berbagai macam
masakan untuk dimakan bersama dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacara juga
dimeriahkan dengan pagelaran ‘Gendang Guro-Guro Aron’, musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang
hanya dilaksanakan setahun sekali itu, seluruh penduduk hadir dalam pesta
tersebut, kecuali seorang nenek tua renta yang sedang menderita sakit lumpuh.
Tidak ketinggalan pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam acara
itu.
Tinggallah nenek tua itu seorang sendiri terbaring di atas pembaringannya. “Ya, Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi, apa dayaku ini. Jangankan berjalan, berdiri pun aku sudah tak sanggup,” ratap si nenek tua dalam hati. Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa membayangkan betapa meriahnya suasana pesta itu. Jika terdengar sayup-sayup suara Gendang Guro-guro Aron didendangkan, teringatlah ketika ia masih remaja. Pada pesta Gendang Guro-Guro Aron itu, remaja laki-laki dan perempuan menari berpasang-pasangan. Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu.
Namun,
semua itu hanya tinggal kenangan di masa muda si nenek. Kini, tinggal siksaan
dan penderitaan yang dialami di usia senjanya. Ia menderita seorang diri dalam
kesepian. Tak seorang pun yang ingin mengajaknya bicara. Hanya deraian air mata
yang menemaninya untuk menghilangkan bebannya. Ia seakan-akan merasa seperti
sampah yang tak berguna, semua orang tidak ada yang peduli padanya, termasuk
anak, menantu serta cucu-cucunya.
Ketika tiba saatnya makan siang, semua penduduk yang
hadir dalam pesta tersebut berkumpul untuk menyantap makanan yang telah
disiapkan. Di sana tersedia daging panggang lembu, kambing, babi, dan ayam yang
masih hangat. Suasana yang sejuk membuat mereka bertambah lahap dalam menikmati
berbagai hidangan tersebut.
Di tengah-tengah lahapnya mereka makan sekali-kali terdengar tawa, karena di antara mereka ada saja yang membuat lelucon. Rasa gembira yang berlebihan membuat mereka lupa diri, termasuk anak dan menantu si nenek itu. Mereka benar-benar lupa ibu mereka yang sedang terbaring lemas sendirian di rumah.
Sementara itu, si nenek sudah merasa sangat lapar, karena sejak pagi belum ada sedikit pun makanan yang mengisi perutnya. Kini, ia sangat mengharapkan anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan makanan. Namun, setelah ditunggu-tunggu, tak seorang pun yang datang. “Aduuuh…! Perutku rasanya melilit-lilit. Tapi, kenapa sampai saat ini anak-anakku tidak mengantarkan makanan untukku?” keluh si nenek yang badannya sudah gemetar menahan lapar. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba mencari makanan di dapur, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Rupanya, sang anak sengaja tidak memasak pada hari itu, karena di tempat upacara tersedia banyak makanan.
Akhirnya,
si nenek tua terpaksa beringsut-ingsut kembali ke pembaringannya. Ia sangat
kecewa, tak terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya. Ibu tua itu
menangisi nasibnya yang malang. “Ya, Tuhan! Anak-cukuku benar-benar tega
membiarkan aku menderita begini. Di sana mereka makan enak-enak sampai kenyang,
sedang aku dibiarkan kelaparan. Sungguh kejam mereka!” kata nenek tua itu dalam
hati dengan perasaan kecewa.
“Isriku! Apakah kamu sudah mengantar makanan untuk
Nenek-nya anak kita?” tanya sang suami kepada istrinya.
“Kalau begitu, bungkuskan makanan, lalu suruh anak kita
menghantarkannya pulang” perintah sang suami.
Sesampainya di rumah, anak itu segera menyerahkan makanan
itu kepada neneknya, lalu berlari kembali ke tempat upacara. Alangkah senangnya
hati sang nenek. Pada saat-saat lapar seperti itu, tiba-tiba ada yang
membawakan makanan. Dengan perasaan gembira, sang nenek pun segera membuka
bungkusan itu. Namun betapa kecewanya ia, ternyata isi bungkusan itu hanyalah
sisa-sisa makanan.
Beberapa potong tulang sapi dan kambing yang hampir habis dagingnya. “Ya, Tuhan! Apakah mereka sudah menganggapku seperti binatang. Kenapa mereka memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang,” gumam si nenek tua dengan perasaan kesal. Sebetulnya bungkusan itu berisi daging panggang yang masih utuh. Namun, di tengah perjalanan si cucu telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang. Si nenek tua yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengira anak dan menantunya telah tega melakukan hal itu. Maka, dengan perlakuan itu, ia merasa sangat sedih dan terhina. Air matanya pun tak terbendung lagi. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anak dan menantunya itu.
“Ya, Tuhan!” Mereka telah berbuat durhaka kepadaku.
Berilah mereka pelajaran!” perempuan tua itu memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Baru saja kalimat itu lepas dari mulut si nenek tua, tiba-tiba terjadi gempa
bumi yang sangat dahsyat. Langit pun menjadi mendung, guntur menggelegar bagai
memecah langit, dan tak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya.
Seluruh penduduk yang semula bersuka-ria, tiba-tiba menjadi panik. Suara jerit tangis meminta tolong pun terdengar dari mana-mana. Namun, mereka sudah tidak bisa menghindar dari keganasan alam yang sungguh mengerikan itu. Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tiba-tiba tenggelam. Tak seorang pun penduduknya yang selamat dalam peristiwa itu. Beberapa hari kemudian, desa itu berubah menjadi sebuah kawah besar yang digenangi air. Oleh masyarakat setempat, kawah itu diberi nama ‘Lau Kawar’. Sumber : https://deli.suara.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Pesan