OPINI – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi membuka tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sejak 14 Juni 2022. Hal itu diumumkan oleh Ketua KPU Hasyim Asy'ari di kantor KPU di Jakarta Pusat. Segala tahapan dan jadwal mengenai penyelenggaraan Pemilu 2024 tercantum pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024. Masa kampanye direncanakan berlangsung pada 13 November 2023 hingga 10 Februari 2024 atau selama 75 hari. Adapun hari pemungutan suara tetap pada 14 Februari 2024. Sementara itu walaupun ada wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan perubahan jadwal pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 dimajukan, yang awalnya November 2024 menjadi September 2024 sampai hari ini belum ada keputusan resmi terkait itu.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, usulan tersebut agar semua kepala daerah
terpillih hasil Pilkada 2024 dapat dilantik pada 2024. Jika pilkada tetap
dilaksanakan pada November 2024 sesuai amanat UU 10/2016 (UU Pemilu) Pasal 201
ayat (8), maka besar kemungkinan para pemenang tak bisa dilantik pada 2024
sebab akan ada gugatan hasil pemungutan suara. Gugatan memungkinkan ada pemungutan
suara ulang. Akibatnya, pelantikan serentak yang direncanakan dilaksanakan pada
Desember 2024 akan sulit terwujud.
Sangat sulit menemukan orang yang idealis dan berpikir jauh kedepan untuk masa depan kampung halamannya, daerahnya, apalagi negaranya. Kehidupan yang sebahagian besar orang dinikmati sulit ini membuat subur berkembang sifat egois. Muncullah pola pikir yang kemudian didewakan menjadi dirinyalah yang paling penting dan utama di dunia ini kemudian berpikir hanya pendapatnya sajalah yang benar di alam semesta ini.
Menurut tulisan dari website Bawaslu, Hakikat Pemilu adalah untuk memilih pemimpin yang amanah dan jujur sekaligus memiliki kemampuan dan profesionalisme sehingga pemimpin yang amanah juga harus lahir dari pemilih atau rakyat yang jujur dan amanah. Baik pemilih maupun yang dipilih serta pelaksana pada akhirnya harus tunduk dan mengikuti paradigma agama, paradigma hukum dan paradigma budaya agar semuanya berjalan secara seimbang tanpa saling menyakiti. Karena seluruh anak bangsa pada akhirnya akan kembali kepada ibu pertiwi dan kita semua akan berusaha memberikan yang terbaik kepada bangsa dan Negara.
Firmanzah (2012: 120-126) memetakan tipologi ke dalam empat kolom tipologi pemilih, yaitu : 1. Pemilih Rasional. Pemilih memiliki orientasi pada “policy problem solving‘ dan berorientasi rendah untuk faktor idologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik dan kontestan dalam program kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ideology kepada suatu partai atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada paham dan nilai partai atau kontestan.
2. Pemilih Kritis. Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah pertai politik atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah „rational voter‟ untuk berpaling ke partai lain. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara system nilai partai (ideology) dengan kebijakan yang akan dibuat. Pemilih jenis ini harus di ‗menege‘ sebaik mungkin oleh sebuah partai politik atau seorang kontestan, pemilih memiliki keinginan dan kemampuan untuk terus memperbaiki kinerja partai, sementara kemungkinan kekecewaan yang bisa berakhir ke frustasi dan pembuatan partai politik tandingan juga besar.
3. Pemilih tradisional. Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan social budaya, nilai asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan konservatif dalam memegang nilai serta paham yang dianut. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye, loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini.
4. Pemilih Skeptis. Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga sebagai sesuatu penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang mempedulikan program kerja atau ‗platform‘ dan kebijakan sebuah partai politik.
Sebagai implikasi dari sistem Pilkada langsung berdasarkan suara mayoritas, hal ini cukup menjelaskan bahwa ongkos politik dalam sistem demokrasi saat ini begitu mahal. Berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten berkisar 5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran 60-78 miliar. Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima oleh gubernur misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6 juta/bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat. Inilah hal-hal yang dapat memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi-pundi kesejahteraan rakyat.
Namun ada juga pendapat beberapa orang tim sukses kandidat calon kepala daerah, bahwa jumlah tersebut di luar “membeli kapal” dari partai-partai politik yang berkisar 1 sampai 5 Milyar. Kalau calon kepala daerah tidak mau “membeli kapal", ada jalur independen yang juga mampu menghantarkan calon kepala daerah untuk bertarung di Pilkada 2024. Aturan yang berlaku, untuk pemilihan calon bupati dan wali kota, daerah dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) antara 0-250.000, syarat minimal dukungannya sebesar 10 persen.
Kabupaten Dairi adalah termasuk yang akan menggelar perhelatan Pilkada di tahun 2024. Menurut data pada tanggal 2 Nopember 2022, jumlah penduduk yang tercatat di website resmi Pemerintah Kabupaten Dairi sebesar 319.583. Dari jumlah tersebut jumlah penduduk laki-laki sebesar 159.242 orang dan perempuan berjumlah 160.341 orang. Sejumlah 223.697 orang merupakan penduduk yang wajib memiliki KTP walaupun saat ini yang sudah memliki KTP elektronik berjumlah 223.151 orang.
Jika diambil persentase 10% dari jumlah penduduk yang sudah bisa memiliki hak pilih yaitu 223.697 orang, maka seseorang yang ingin maju dari jalur independen, cukup mengumpulkan dukungan masyarakat melalui KTP dari sebanyak 22.400 orang. Jika untuk memperoleh KTP tersebut di kalikan dengan Rp.50.000,- maka total biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi syarat jalur independen mengeluarkan anggaran RP.1.120.000.000,- (satu milyar seratus dua puluh juta rupiah).
Banyaknya Partai peserta Pemilu 2024 yaitu 18 Partai Politik dan akan bertambah jika gugatan beberapa Partai Politik yang tidak lolos verifikasi, membuat harga “kapal atau perahu” menjadi lebih banyak dikeluarkan. Jika hitung-hitungan dengan biaya yang dikeluarkan untuk jalur independen, maka akan lebih menguntungkan maju menjadi calon Bupati/Wakil Bupati dari jalur independen.
Tingginya biaya politik dalam pemenangan calon kepala daerah diakibatkan calon kepala daerah banyak mengeluarkan biaya operasional yang jika dilihat dari kondisi saat ini, tidaklah menjadi factor utama penentu kemenangan calon kepala daerah.
Dari 4 tipe pemilih diatas, pemilih tradisional dan dan pemilih skeptis akan memiliki persentasi jauh lebih tinggi daripada pemilih rasional maupun pemilih kritis. Ini berarti besaran amplop lah yang akan membentuk masyarakat pemilih memakai kacamata kuda, memilih calon kepala daerah. Jika hitungan kasar di Kabupaten Dairi, pada Pilkada 2018, Pasangan Depriwanto Sitohang, ST., MM., dan Azhar Bintang SH. Memperoleh 59.228 kemudian pasangan Dr. Eddy Keleng Ate Berutu dan Jimmy Andrea Lukita Sihombing. memperoleh 86.838 serta pasangan St. Rimso Maruli Sinaga, SH., MH dan Bilker Purba., A.Md. sebesar 1.418 dengan total Jumlah Suara Sah 147.484
Jika Pasangan calon kepala daerah tidak terlalu merepotkan diri dengan gemuknya Tim Sukses serta memikirkan biaya operasional kemudian focus pada amplop yang berisikan lembaran “undangan” rupiah kepada pemilih sebanyak 120.000 lembar saja, maka yang perlu dipersiapkan sebesar 12 Milyar jika pengalinya adalah Rp.100.000.
Tidaklah berlebihan, jika maju dengan 15 Milyar, maka calon kepala daerah sudah dapat dipastikan untuk memenangkan perhelatan Pilkada 2024. Tentu perhitungan “jahat” diatas adalah perhitungan jika calon kepala daerah atau calon bupati yang maju di Kabupaten Dairi berjumlah 2 pasang saja atau melawan Kotak Kosong. Namun bila jumlah calonnnya lebih dari 2 maka amplop yang disiapkan juga dapat di pertimbangkan untuk dikurangi jumlahnya.
“Skenario jahat“ ini hanyalah pemikiran untuk para calon bupati dan wakil bupati Dairi yang akan maju pada Pilkada 2024 mendatang untuk memindahkan target menghemat anggaran dan tidak kena 2 kali.
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Pesan